MENELUSURI PUISI TAUFIK ISMAIL YANG BERJUDUL “MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA”

 

MENELUSURI PUISI TAUFIK ISMAIL YANG BERJUDUL “MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA”

Kali ini kita akan mengulas puisi Taufik Ismail yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, sebuah puisi yang sangat menarik untuk diulas. Dapat kita ketahui bahwa puisi merupakan sebuah karya sastra yang dirangkai dengan kata-kata indah penuh dengan makna, baik makna tersirat maupun makna tersurat yang ingin disampaikan oleh penyair terhadap pembacanya. Puisi juga bisa dikatakan sebagai alat untuk mengkespresikan diri penyair terhadap kegelisahan yang sedang dialaminya. Tidak hanya itu, puisi juga bisa dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita, seperti puisi yang diciptakan oleh Taufik Ismail yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Sebuah puisi dengan judul yang membuat penasaran.

Saat kita ulas puisi Taufik Ismail yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” kita akan disuguhkan dengan dua rentang waktu di dalamnya, yakni pada tahun 1956 dan 1998. Bisa diatakan puisi itu diciptakan oleh penyair sesuai dengan keadaan sosialyang dialami penyair pada waktu itu, bagaimana penyair menjalani kehidupannya di masa itu. Puisi juga bisa dikatakan sebagai alat kritik terdahap apapun yang diugkapkan dengan serangkaian kata-kata indah, jujur, dan mutlak. Jika dilihat dari makna puisi tersebut, penyair ingin mengungkapkan kritikan-kritikan yang sudah lama membelenggu dalam dirinya akan kekecewaan terhadap sistem pemerintahan yang berjalan pada saat itu.

I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 


Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia 


Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya

Dadaku busung jadi anak Indonesia


Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini 

 

Dapat dilihat dari bait pertama, awal mulanya penyair pengungkapkan kebanggaannya atas kemerdekaan yang diraih oleh negara Indonesia dengan segenap pengorbanan dan perjuangan yang dilakukan oleh seluruh warga Indonesia untuk mengusir dan menghentikan penjajahan yang dialami Indonesia pada masa itu. Dalam puisi tersebut menggambarkan tokoh “Aku” yang sangat bangga akan bangsa dan seluruh warganya. Namun seiring berjalannya waktu dia merasa ada yang salah dengan sistem yang kini telah dilakukan oleh negaranya. Kekecewaannya mulai muncul, dapat dilihat pada bagian II, II dan IV di bawah ini.

II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,


Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan, 


Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,


Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,


Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat
-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,


Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak

putus dilarang-larang,


Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat

belanja modal raksasa,


Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang

saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan

pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan

diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 


Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,


Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima

belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,


Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,


Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror

penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil

bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor

pertandingan yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala

Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala

Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,

India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah

Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat

terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur

Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula

pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta

terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan, 


Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di

tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

1998

 

Ungkapan penyair pada bagian pertama sangat berbanding terbalik dengan ungkapan-ungkapan yang dilontarkan penyair pada bagian ke II, III dan IV. Jika pada bagian pertama penyair menunjukkan kebanggannya menjadi bagian dari negara Indonesia yang mampu bangkit dengan penjajahan yang dialaminya, kini pada bagian ke II, III dan IV penyair mengungkapkan kekecewaannya terhadap goyahnya hukum-hukum yang adil, terhadap permainan jual beli hukum dan kecurangan-kecurangan yang sengaja diciptakan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu dan lain sebagainya. Rusaknya sistem yang berlaku di negerinya membuatnya merasa marah dan kecewa bahkan rasa bangga yang awal mulanya selalu ia tunjukkan kini berubah menjadi rasa malu yang mendalam seperti judulnya “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”.

Sebuah puisi dengan kritik yang sangat jujur dengan gambaran-gambaran suatu peristiwa yang membuka mat akita bahwa kita sekarang hidup pada zaman yang penuh dengan permainan, sebuah kehidupan bangsa yang sangat jauh dari harapan-harapan para pahlawan yang telah gugur lerlebih dahulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyelami Problematika Tokoh “Aku” dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Bekal Refleksi di dalam Kehidupan