Mendalami Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim
Anwar dari Berbagai Sudut Pandang
Berbicara
tentang sebuah karya sastra, tentu tidak akan terlepas dari bentuk-bentuk
estetika yang mendasari sebuah karya sastra itu tercipta. Setiap karya sastra tentu
memiliki sisi-sisi keindahan yang sengaja diciptakan oleh penulis untuk menarik
pembaca atau menambah citra dalam karya yang tercipta. Karya sastra merupakan hasil
dari sebuah pemikiran yang mendalam atupun bentuk dari keinginan-keinginan pengarang
yang dikemas dalam bentuk imajinatif, lalu dituangkan dalam bentuk
tulisan-tulisan dengan rangkaian bahasa yang indah dan dapat dinikmati oleh
penikmat sastra. Karya sastra memiliki berbagai macam bentuk, seperti puisi,
novel, cerita pendek danmasih banyak lagi, namun di sini saya tertarik untuk
menelusuri cerita pendek.
Cerita
pendek merupakan salah satu hasil karya sastra yang banyak digemari oleh
khalayak umum karena penyampaian cerita yang cukup singkat dan kompleks
sehingga tidak memerlukan waktu yang lama dalam membacanya. Membuat cerita pendek
tidaklah pekerjaan yang mudah karena harus memikirkan cerita yang kompleks,
menarik dengan singkat. Seperti cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul
“Sulastri dan Empat Lelaki”, cerita pendek tersebut dapat dijadikan sebagai contoh
cerita pendek yang menarik, alur maju-mundur yang membuat cerita tidak monoton
dan kompleks, selain itu dalam cerita pendek tersebut juga menyimpan
informasi-informasi yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Mari kita ulas
cerita pendek yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar
dari berbagai aspek secara mendalam.
Saat
membaca cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat
Lelaki” kita akan disuguhkan dengan sebuah kehidupan yang penuh dengan misteri.
Bagimana tidak, cerita pendek tersebut menggambarkan sosok Sulastri dengan
empat orang laki-laki, tentu saat pertama kali membaca judul tersebut kita akan
bertanya-tanya siapa sosok empat lelaki tersebut dan apa hubngannya dengan Sulastri?
Apakah dalam certita pendek tersebut Sulastri digambarkan sebagai sosok poliandri
seperti Drupadi dalam kisah pewayangan Mahabarata? Nah dari membaca judulnya
saja kita akan menebak-nebak isi dari cerita pendek tersebut dan membuat pembaca
akan lebih tertarik untuk mengetahui isi dari cerpen tersebut. Itulah mengapa
tadi saya sebutkan bahwa cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri
dan Empat Lelaki” merupakan salah satu contoh cerita pendek yang menarik.
Jika
kita telaah lebih mendalam lagi cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul
“Sulastri dan Empat Lelaki” ini memiliki banyak sudut pandang yang sebenarnya cukup
penting dalam mencipta sebuah karya sastra karena akan kaya dengan makna. Banyaknya
sudut pandang dalam sebuah karya sastra akan menciptakan sebuah media bagi
penikmat sastra untuk berdiskusi. Cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang
berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” ini mengisahkan sosok perempuan bernama Sulastri,
memiliki seorang anak dan suami bernama markam, kehudupan Sulastri kian
menderita semenjak suuaminya melakukan semedi di ujung Bengawan Solo untuk
mendapatkan benda-benda pusaka. Bagaimana tidak kian menderita kalau hanya
dirinya yang membanting tulang untuk memenuhi kehudupan keluarganya karena
suami Sulastri tidak bekerja dan hanya bertapa. Kemudian Sulastri memutuskan untuk
mengadu nasibnya di Arab, berharap dia bisa merubah nasibnya supaya bisa lebih baik,
terlepas dari cara yang ia lakukan benar atau tidak.
Ternyata
yang dibayangkan Sulastri tidak seperti yang ia harapkan, di Arab dia hanya menjadi
seorang budak yang justru lebih menderita. Dengan sekuat tenaga dia
merencanakan untuk pulang ke negara asalnya. Sampai akhirnya dia berada di
bibir Pantai Laut Merah berharap bisa kabur dari sana, ternyata tidak semudah
yang ia bayangkan karena ia bertemu dengan polisi yang ingin menapkapnya tetapi
untungnya Sulastri berhasil lolos dari kejaran polisi tersebut. Setelah berhasil
kabur dari kejaran polisi tersebut membuat Sulastri tertegun dengan
membayangkan masalalunya bersama suaminya di masa lalu yaitu Markam. Slastri
mengingat bagaimana ia dan anaknya ditelantarkan dan tidak diberi nafkah oleh Markam
hanya karena ia lebih memilih bertapa di ujung Bengawan Solo menyembah berhala untuk
mendapatkan pusaka yang tak kunjung muncul. Memori yang mungkin menyakitkan
untuk Sulastri jika dia ingat kembali. Sesaat setelah bayangan akan masa
lalunya mulai memudar, Sulastri dikagetkan dengan sosok laki-laki hitam, besar
yang tiba-tiba muncul dari perairan laut merah, ya dia adalah Firaun.
Sulastri sangat ketakutan dengan sosok Firaun
karena ia dijadikan sebagai budak. Perlahan Sulastri menjauh dan lari untuk
menghindari Firaun, tetapi Firaun tidak tinggal diam dia mengejar Sulastri. Di saat
Sulastri mulai kelelahan berlari tiba-tiba muncul sosok laki-laki tua dengan
membawa tongkat di hadapan Sulastri, dia adalah Musa. Sulastri mencoba untuk
meminta bantuan musa tetapi musa menghilang. Langkah Firaun yang besar
membuatnya bisa mengejar Sulastri dan meraih rambut Sulastri kemudian dijambak
dengan sangat kasar hingga rambutnya rontok. Saat itulah Sulastri jatuh dan
tiba-tiba Musa muncul kembali dan memberikan tongkatnya kepada Sulastri sebagai
sumber kekuatannya Sulastri memukulkan tongkat tersebut ke arah Firaun kemudian
Firaun hancur berkeping-keping. Sebuah akhir cerita yang cukup menegangkan dan menguras
emosi.
Berdasarkan
gambaran isi cerita pendek yang saya uraikan di atas, terdapat berbagai sudut
pandang yang dapat kita telaah seperti dari segi agamis, feminisme, politik, dan
simbol. Mari kita uraian satu persatu. Pertama dari sudut pandang agamis,
kenapa dikatakan demikian? Hal tersebut dapat kita lihat dialong Musa dengan Sulastri.
“Tolonglah
saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
“Kau
masuk negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa
dengan suara besar menggema.
“Suamimu
penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
Bukti
percakapan Sulastri dengan Musa, menunjukkan adanya sudut pandang agamis di
dalamnya. Di dalam agama apapun tidak akan dibenarkan jika kita ingin
mendapatkan sesuatu dimualai dengan cara curang atau tidak benar. Meskipun niat
Sulastri baik yaitu untuk mengubah nasibnya dengan keluarganya tetapi cara yang
dilakukan Sulastri haram, nah itulah yang membuat Sulastri kesulitan dalam
menjalankan usahanya bahkan dia akan tersesat dan lebih menderita karena cara
yang ia lakukan untuk mencapainya sudah salah. Sisi agamis dalam cerpen ini juga
dapat dilihat dari setting tempat yakni di Arab dimana seperti yang kita tahu
bahwa negara Arab Sudi adalah negara dengan pemeluk agama islam terbanyak di
dunia. Keduua dapat kita lihat dari penamaan tokoh seperti Firaun dan Musa yang
membawa tongkat, nama-nama yang digunakan oleh penulis atau kisah tongkat Musa
sering kita dengar pada cerita-cerita nabi yang ada dalam agama islam. Menurut saya
dalam cerita ini sisi agamis lebih condong ke agama islam, sperti kata Musa “Suamimu
penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?” dalam islam seseorang tidak
diperbolehkan untuk menyembah berhala jika is menyembah berhala hidupnya akan mengalami
kesesatan.
Kedua
dari sudut pandang feminisme, sudut pandang feminsime yang terdapat pada cerita
pendek “Sulastri dan empat laki-laki” dapat kita lihat dari dialog Sulastri dan
Musa, kutipan dialog tersebut sebagai berikut.
“Suamimu
penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
“Saya
seorang perempuan, Ya Musa.”
“Perempuan
dan laki-laki diwajibkan untuk mengubah nasibnya sendiri”
Berdasrkan
kutipan tersebut, dapat kita lihat terdapat sisi feminisme di dalamnya, di mana
perempuan secara sadar atau tidak mereka selalu menggantungkan dirinya pada
laki-laki. Sejatinya perempuan dengan laki-laki mereka memiliki hak dan
kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri karena sesungguhnya yang
paling bertanggung jawab atas kehidupan kita yakni diri kita sendiri, tidak ada
pelabelan gender di dalamnya. Berdasarkan kutipan tersebut sosok Musa
memberikan pemahaman terhadap Sulastri bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
hakikat yang sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan berhak bebas
tanpa bergantung dengan laki-laki. Sisi feminisme selanjutnya dapat kita lihat
dari sudut pemaknaan judul “Sulastri dan empat laki-laki” di mana hanya
terdapat satu perempuan dan empat laki-laki. Menunjukkan adanya pemdominasian
antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga
sudut pandang dari segi politik, sudut pandang politik yang terdapat paca
cerita pendek “Sulastri dan empat laki-laki” dapat kita lihat dari dialog Sulastri
dan Musa, kutipan dialog tersebut sebagai berikut.
“Negeri
kami miskin, Ya Musa.”
“Kekayaan
negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus”
“Kami
menderita, Ya Musa.”
“Para
pemimpin negerimu serakah.”
“Kami
tidak kebagian, Ya Musa.”
“Mereka
telah memenjarakan kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan,
serta para cukongnya”
“Di
negerimu keadilan telah menjadi selogan, para pemimpin di negerimu tidak bisa
menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang
dagangan yang murah.”
Berdasarkan
kitipan di atas, dapat kita lihat terdapat gambaran permainan politik dalam
negeri kita. Negeri kita kaya tetapi kenapa banyak sekali kemiskinan, kekayaan alam
yang terdapat di negeri kita yang seharusnya menjadi hak rakyat dikuasai oleh
para pejabat. Keadilan dalam negeri ini hanyalah sebuah slogan yang
digembar-gemborkan menjelang pemilu untuk membeli suara rakyat, setelah pemilu
selesai keadilan hanyalah slogan yang hilang ditelan bumi. Rakyat miskin hanya
dijadikan alat untuk penyokong suara agar jabatan mereka naik. Setelah keinginan
para pejabat terpenuhi, raknya akan dijadikan barang dagangan murah dan tidak
diperdulikan kehidupannya, mereka dijadikan sapi perah bekerja paruh waktu
dengan upah yang tak sebanding. Hak-hak mereka dinikmati oleh para tikus
berdasi. Rakyat dijadikan budak dinegeri mereka sendiri.
Keempat
yakni sudut pandang dari segi simbolik, saya menemuan empat sudut pandang simbolik
yang terdapat pada cerita pendek “Sulastri dan empat laki-laki” diantaranya
yakni simbol amarah, simbol serakah, simbol nafsu dasar manusia, dan simbol kebaikan
atau kesucian. Keempat simbol yang terdapat dalam cerita pendek ini merupakan
satu kesatuan dari nafsu yang terdapat dalam diri manusia. Mari kita uraikan
satu persatu. Pertama simbol amarah, yakni terdapat pada sosok Firaun. Dalam diri
Firaun terdapat gejolak amarah, kasar, dan jahat, itulah mengapa Firaun di sini
melambangkan sifat manusia yang penuh dengan amarah.
Simbol
berikutnya yakni simbol serakah, yang dilambangkan oleh sosok polisi, mengapa
sosok polisi melambangkan sebuah keserakahan? Hal tersebut seperti yang
digambarkan pada cerita ini di mana polisi ingin menangkap sulastri bukan untuk
mereka adili sesuai dengan tugas mereka yang seharusnya menjaga ketertiban
ataupun menolong oaring yang sedang mengalami masalah. Polisi di sini justru
menangkap Sulastri hanya untuk mendapatkan imbalan berupa uang. Sebuah sifat
serakah yang dilambangkan dalam sosok polisi dalam cerpen ini. Simbol amarah ini
juga melambangkan mafsu yang terdapat dalam diri manusia yang tidak akan pernah
puas denga napa yang mereka miliki, termasuk keinginan untuk dihormati,
disanjung dan tentunya memiliki pangkat atau kedudukan di mata masyarakat.
Simbol
selanjutnya yakni simbol nafsu dasar manusia, yang dilambangkan oleh sosok
Sulastri. Sulastri di sini sebagai makhluk hidup manusia memiliki Hasrat untuk
memuaskan kebutuhan makan dan minum. Namun kebtuhan dasar tersebut jika untuk
mendapatkannya ditempuh dengan cara yang salah tentu akan menjadi boomerang untuk
diri sendiri. Seperti halnya Sulastri yang mengalami kesulisan saat berada di
Arab bahkan hidupnya lebih menderita karena untuk memenuhi nafsu tersebut Sulastri
menembuh jalan yang haram. Itulah mengapa sosok Sulastri dalam cerpen ini
menyimbolkan nafsu dasar manusia yang didapatkan dengan cara yang salah.
Simbol
terakhir yang terdapat pada cerpen ini yakni simbol kebaikan atau kesucian,
yang dilambangkan oleh sosok Musa. Musa menjadi sosok yang bijaksana, penyejuk,
dan penolong bagi Sulastri. Di sini Musa tidak hanya sekadar menolong,
melainkan menberikan pelajaran berharga untuk Sulastri bahwa sesuatu yang dimulai
dengan cara yang salah pasti akan berujung kerumitan. Musa melambangkan
kebaikan yan terdapat pada diri manusia. Sejatinya setiap manusia pasti
memiliki sisi kebaikan karena itulah kodratyang seharusnya dimiliki oleh
manusia. Itulah yang dapat saya uraikan pada sat saya membaca cerita pendek karya
M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” cerita ini sangat
menrik dan menyimpan nilai-nilai kehidupan di dalamnya.
Komentar
Posting Komentar