Menyelami Problematika Tokoh “Aku” dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Bekal Refleksi di dalam Kehidupan

Menyelami Problematika Tokoh “Aku” dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Refleksi di dalam Kehidupan.


Di dalam kehidupan kita akan senantiasa menemuhi sebuah permasalahan. Permasalahan tersebut hadir bukan tanpa sebuah alasan melainkan bentuk teguran bahkan tamparan terhadap diri kita agar menjadi pribadi yang kuat dan dewasa. Fase tersebut merupakan fase yang biasa dialami oleh seseorang karena adanya proses pencarian jati diri dan penting dialami untuk mengenali diri secara lebih dalam. Hal tersebut yang akan membuat seseorang dapat mempersiapkan berbagai kemungkinan yang ada di masa depan. Krisis yang hadir dalam diri seseorang yang mengganggu psikologi disebabkan oleh berbagai masalah salah satunya adalah ujian hidup. Seseorang akan merasa hidupnya terbebani dan tidak bahagia dari orang lain, ataupun merasa bahwa dia memiliki masalah yang paling berat di dunia.
Sejatinya itulah hidup, bahwa masalah akan senantiasa hadir kepada diri kita bukan sebagai momok yang menakutkan melainkan kita hidup pun karena adanya problematika. Maka jalan satu-satunya untuk terlepas dari paradigma seperti itu yakni dengan perenungan. Perenungan bisa dilakukan menggunakan segala media baik itu sembayang, menyendiri dalam sepi, menikmati musik, dan bahkan melalui membaca karya sastra. Karya sastra tidak hanya menyuguhkan cerita atau tulisan-tulisan estetik saja. Di dalam karya sastra, makna yang dikandung dapat kita tuai sebagai bahan perenungan diri di dalam kehidupan nyata. Sejatinya karya sastra merupakan bentuk dunia rekaan yang ditulis dari pandangan sang pengarang. Bahkan di dalam karya sastra juga terdapat adanya konflik batin pada para tokohnya. Nurgiyantoro (2013:179) mengatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang dialami oleh tokoh fiksi sebagai manifestasi manusia pada kehidupan nyata di mana peristiwa tersebut tidak menyenangkan sehingga membuat tokoh tersebut merasa terganggu dan tinyak nyaman.
Aminuddin (1990:93) juga berpedapat bahwa sastra sebagai “gejela kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang diuraikan melalui perilaku tokoh-tokoh ceritanya. Dengan kalimat lain bahwa melalui karya sastra kita dapat mengetahui problematika yang menyelimuti para tokoh dan dapat kita jadikan sebagai bahan refleksi di dalam kehidupan kita. Melalui karya sastra sebagai media perenungan, dapat kita petik melalui makna yang ada di setiap jalan cerita. Karena sastra tidak hanya sekadar indah melainkan bermanfaat. Sehingga diharapkan dengan membaca karya sastra seseorang akan memiliki pandangan luas dalam kehidupannya. Ia akan tahu bagaimana harus bersikap Ketika problematika itu hadir dalam diri.
Karya sastra yang akan kita telaah yakni berupa cerpen karya Shoim Anwar. Cerpen-cerpen tersebut yakni: 1) Sorot Mata Syaila, 2) Tahi Lalat, 3) Sepatu Jinjit Aryanti, 4) Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, 5) Jangan ke Istana, Anakku. Melalui lima judul cerpen karya Shoim Anwar tersebut, kita akan melihat bagaimana sang tokoh utama “Aku” memilki sebuah ujian sebagai sebuah sebab dan akibat yang ia lakukan sendiri. Dengan merenungi tokoh “Aku” diharapkan dapat memberikan sedikit refleksi batin agar mampu memandang dan menilai setiap masalah yang ada pada diri secara dewasa serta berfikir jernih.
Cerpen Sorot Mata Syaila. Merupakan cerpen yang bercerita mengenai tokoh “Aku” bernama Matalir. Ia merupakan buronan kasus korupsi yang sedang pergi ke Timur Tengah sehabis menunaikan ibadah haji bersama dengan dua orang istri dan empat orang anak. Berlatar tempat di Bandara Abu Dhabi ia bertemu dengan perempuan yang bernama “Syaila” yang akan pergi ke Pakistan. Di akhir kisah “Matalir” beranjak mengikuti tokoh “Syaila” di sebuah Lorong kecil hingga menemui fatamorgana. Ia teringat akan sesuatu hal mengenai dosa-dosa yang ada dalam diri “Matalir” sampai menyeret keluarganya. Ia meilhat bayangan bahwa dua orang istri dan empat orang anaknya digantung seperti seekor kambing yang disembelih. Berikut kutipan dialog cerpen Sorot Mata Syaila.
“Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntuan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untu mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri.”
Dari kutipan cerpen “Sorot Mata Syaila” tokoh aku memiliki segudang permasalahan yang hadir dalam dirinya. Bahwa ia menjadi buronan dalam kasus korupsi di Indonesia. kutipan tersebut menggambarkan bahwa tokoh “Aku” memiliki berbagai cara untuk mengatasi problematika yang ia sebabkan. Akibatnya ialah menjadi buronan oleh lembaga hukum. Namun ia Nampak cemas seperti yang diungkapkan pada cuplikan berikut.
“Aku berusaha meyakinkan diri. Ini bukan mimpi atau sekadar ilusi. Di lorong terdalam Bandara Internasional Abu Dhabi, aku tak berdaya menolong istri-istri dan anak-anakku yang sekarat menghadapi maut. Mereka digantung seperti kambing habis disembelih untuk dikuliti. Barangkali ini adalah ujung dari hidup kami semua. Aku ingin meronta, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kaki dan tanganku pun terserimpung di lantai lorng yang becek dan pesing”
Nampak pada cuplikan tersebut bagaimana kondisi psikis dari sang tokoh utama “aku” ia dihadapkan pada akibat problematika. Gambaran tersebut merupakan representasi masalah yang hadir dalam dunia nyata. Ketika kita tertimpa masalah hal yang ditakutkan adalah orang yang kita sayangi ikut terseret dalam permasalahan kita. Hal tersebut juga terjadi pada cerpen “Jangan Ke Istana, Anakku”.
Cerpen “Jangan ke Istana, Anakku”. Cerpen tersebut menceritakan mengenai kisah tokoh utama “aku” yang merupakan penjaga sebuah istana. Ia memiliki anak perempuan bernama Dewi dan seorang istri yang bernama Trihayu. Tokoh utama memiliki banyak masalah dan ujian sebagai seorang penjaga istana ia harus dituntut untuk setia kepada istana. Sewaktu istrinya hamil ia tidak dapat berada di sampingnya unuk mendampingi. Dan di akhir cerita ia mendapati anak kesayanganya yang bernama Dewi dibawa oleh cecenguk kerajaan ke istana untuk dijadikan tumbal. Berikut fragmen yang menggambarkan problematika tokoh “aku”.
“Istana yang laknat. Mengapa aku, istri, dan anak kesayanganku, semua diganyang oleh istana. Sudah sering aku melihat kejadian serupa. Perempuan muda dibawa masuk dihadapkan baginda. Lalu musnah tak ada ceritanya. Tubuhku serasa meleleh dan hancur.”
Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana hancurnya perasaanya melihat anak kesayangannya dibawa di sebuah istana. Terdapat adanya kesamaan dari dua cerpen tersebut bagaimana tokoh utama mengalami sebuah kekalutan mental. Kekalutan mental atau penderitaan mental merupakan ganguan terhadap jiwa dalam menyikapi problematika yang dihadapi. Hanafie (2016:284) mengatakan bahwa kekalutan mental merupakan ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus diatasi sehingga bersangkutan bertingkah secara kurang wajar, missal tidak mampu menjawab pertanyaan terus menggigit-menggigit pensil.
Kekalutan mental disebabkan antra lain karena kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental yang kurang sempurna yang sering dialami oleh orang-orang tipe melankolis. Cuplikan dari dua cerepen tersebut kita dapat mengetahui bagaimana kondisi seseorang apabila menghadapi sebuah masalah yang dialami. Namun hal ini terdapat solusi bagi seseorang yang mengalami kekalutan mental. Hanafie (2016:284) mengatakan bahwa proses kekalutan mental yang dialami seseorang dapat mendorong kea rah positif bila trauma yang dialami dijawab dengan baik sebagai usaha untuk tetap survive dalam hidupm misalnya dengan sholat tahajud.
Problematika yang berat juga dialami tokoh utama dalam cerpen Sepatu Jinjit Aryanti dan Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue. Cerpen Sepatu Jinjit Aryanti menceritakan mengenai tokoh utama “Aku” yang bersama dengan seorang perempuan bernama “Aryanti”. Berlatar tempat Hotel di Singapura, dua tokoh tersebut bersembunyi dari kejaran para pesuruh petinggi di Indonesia. Koflik terjadi karena tokoh utama diberikan tugas untuk menyembunyikan perempuan bernama Aryanti yang merupakan kunci kasus pembunuhan seorang pria yang merupakan seorang petinggi. Berikut fragment yang menggambarkan situasi tersebut.
“Aku adalah bagian dari persengkongkolan itu. Tapi aku dalam posisi tak berdaya karena perintah atasan yang tak boleh ditolak. Aku tetaplah seorang manusia yang mempunyai pikiran dan rasa yang waras.”
“tapi, inilah sebenarnya, kami berdua tidak lain adalah objek. Apa yang kami lakukan bukanlah untuk kepentingan kami sendiri.”
Penggalan cuplikan tersebut merupakan bentuk problematika yang menyelimuti tokoh utama karena harus menderita akibat perintah yang diberikan oleh petingginya. Problematika yang hadir juga terdapat pada tokoh utama di cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue. Cerpen tersebut menceritakan tokoh utama yang bernama “Anik”. Berlatar tempat di sebuah gedung latihan dansa, tokoh utama yang merupakan seorang perempuan menagih janji seorang hakim pria bernama Bambi. Ia merasa ditipu untuk dimenangkan disebuah proses pengadilan atas tuntutanya kepada seseorang. Ia telah memberikan uang kepada hakim yang bernama Bambi namun dalam prosesnya ia kalah dalam pengadilan karena Bambi selaku hakim tunggal diberikan lebih oleh perempuan bernama Miske dan memiliki nama asli Kiara. Kiara merupakan ahli waris dan anak dari almarhum Pak Madali yang tokoh utama gugat. Kiara telah memberikan uan dan tubuhnya kepada Bambi sehingga ia dimenangkan.
Penderitaan yang dialami oleh kedua tokoh utama tersebut dapat membuat tubuh menjadi stress berat karena tidak adanya kemampuan dalam menerima permasalahan. Konsep penderitaan sebenarnya berasal dari bahasa sansekert dhra. Menurut Hanafie (2016:277) mengatakan bahwa penderitaan yang bersumber dari unsur “rasa” yang ada dalam diri manusia adalah ungkapan perasaan sakit yang dialami manusia di dalam kehidupan. Penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia yang bersifat kodrati. Artinya bahwa setiap manusia hidup pasti mengalam penderitaan dengan kadar yang berbeda. 
Penderitaan juga terjadi pada tokoh utama di cerpen “Tahi lalat”. Tokoh utama “Aku” merupakan seorang warga desa yang mengalami keterpurukan karena ulah dari Lurahnya yang menyengsarakan rakyatnya. Sikap Lurahnya yang menjual tanah warganya yang berlokasi strategis kepada bos pembesar perumahan. Sehingga warga desa hanya bisa berbicara dibelakang merasakan sikap lurahnya. Berikut fragmen yang menggambarkan penderitaan tokoh utama “Aku”.
“Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bamboo. Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Pada cuplikan tersebut merupakan bentuk penderitaan yang dialami tokoh utama “Aku” dalam bentuk penderitaan fisik. Nasib buruk adalah penderitaan yang disebabkan oleh mansuia baik dalam hubungan antar manusia maupun dalam hubungan antar manusia dengan alam lingkunganya (hanafie, 2016:279). Jadi penderitaan merupakan salah satu risiko dalam kehidupan yang telah digariskan oleh Tuhan Maha Kuasa, di samping kesenangan dan kebahagiaan. 
Problematika yang hadir dalam diri kita dan menyebabkan adanya penderitaan sehingga kita mengalami kekalutan mental adalah bentuk ujian terhadap diri kita. Penderitaan diberikan kepada manusia dengan maksud agar manusia selalu ingat kepada-Nya, tidak memalingkan diri dari-Nya. Oleh karena itu penderitaan bersifat ujian. Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melebihi batas kesanggupan manusia untuk menanggungnya. Itulah sebabnya maka Tuhan akan memberikan tanda untuk memperingatkan manusia sebelum memberikan penderitan. Dari lima cerpen tersebut kita dapat mengambil makna sebagai bahan refelksi di dalam kehidupan nyata. Kita merenugi ke “Akuan” dari masing-masing cerpen tersebut agar kita dapat bersikap lebih bijak dalam menghadapi problematika.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafie Rita, Sri Rahaju Djatimurti. 2016.            Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta. CV 
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini