Menelaah Puisi “Idul Fitri” karya karya Sutardji Calzoum Bachri.

Berbagai macam karya sastra merupakan suatu bentuk imajinasi bahkan ungkapan atau curahan hati penyair yang diaplikasikan ke dalam sebuah karya sastra yang indah. Penyair dalam menciptakan karya sastra juga bisa mendapatkan inspirasi dari berbagai momen pribadi yang telah dilaluinya dan memiliki kesan tersendiri baginya karena saat ini momen lebaran mari kita menelaah puisi “Idul Fitri” karya karya Sutardji Calzoum Bachri.

Puisi “Idul Fitri” karya karya Sutardji Calzoum Bachri, saat kita membaca judulnya pasti kita akan mengingat tentang hari raya umat islam yakni idul fitri di mana umat islam merayakan kemenangan atas ujian yang telah ia lalui yakni berpuasa menahan hawa nafsu selama satu bulan penuh. Suatu momen sakral yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh umat islam untuk menyucikan diri dan saling memaafkan satu sama lain.

Setelah kita membaca secara keseluruhan puisi tersebut, tentunya kita akan membayangkan di mana suatu momen yang tepat telah datang untuk kita dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Memperbaiki segala kesalahan yang kita perbuat di masa lalu dengan cara mawas diri karena sebaik-baiknya tobat adalah orang yang mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat di masa lalu. Tidak hanya itu, pada puisi tersebut penyair juga ingin menggambarkan bahwa Tuhan maha pengasih dan pengampun. Tuhan akan selalu menerima tobat hambanya yang mau bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada-Nya.

Bait 1

Lihatlah

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

Dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

Telah kutegakkan sholat malam

Telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju ka’bah

Tapi ikhlas mencapai hati dan darah

            Berdasarkan bait pertama di atas, mengambarkan tentang sebuah renungan penyair terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah dia perbuat di masa lampau. Penyair juga meggambarkan perjalanan tobat seorang hamba yang ingin memperbaiki diri dengan mendekatkan diri kepada-Nya melalui rangkaian ibadah yang telah dia lakukan dengan ikhlas bukan hanya sekedar formalitas saja, terlebih perjuangan tobat yang dilakukannya pada bulan yang penuh kesucian dan pengampunan yakni pada bulan Ramadhan.

Bait 2

Dan di malam-malam Lailatul Qodar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu kau wudhukan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

            Berdasarkan bait kedua di atas, dapat kita lihat bahwa penyair menggambarkan penantian tokoh Aku pada malakikat Jibril di malam Lailatul Qodar. Ia merasa untaian tobat dan doa yang dia layangkan setiap malam belum cukup untuk mempertemukannya dengan utusan Tuhan, namun penyait juga menyelipkan pesan pada bait ini bahwa janji dan kasih Tuhan itu nyata adanya bagihambanya yang mau medekatkan diri kepanya-Nya.

Bait 3

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

Semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

Ngebut

Di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar

Tempat usia lalaiku meneggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku menenggak marak cahayaMu

Di ujung sisa usia

            Berdasarkan bait ketiga di atas, penyair menggambarkan kerinduaan seorang hamba kepada-Nya. Tidak hanya itu, penyair juga ingin menyampaikan bahwa keikhlasan adalah hal utama yang harus diterapkan pada saat beribadah kepada Tuhan, meskipun apa yang telah dia ingin dan nantikan tidak dia dapatkan walaupun dia sudah berusaha untuk mendapatkknnya tentu jalan yang harus ditempuh adalah ikhlas. Penyair juga menggambarkan seorang hamba yang sangat menyesali masalalunya dan ingin istiqomah dalam mendekatkan diri pada-Nya.

Bait 4

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan kau depakkan aku lagi ke trotoar

Tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini

Kukenakan zirah La Illaha IllAllah

Aku pakai sepatu sirathal mustaqim

Aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku            

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan sholat

Dan kurayakan kelahiran kembali disana

            Berdasarkan bait keempat di atas, penyair ingin menggambarkan penyesalan tokoh Aku akan kesalahan masalalunya yang kini membuatnya semakin ingin menebusnya dengan kembali ke jalan yang diridhoi Tuhan. Ia berharap diteguhkan hati dan tekatnya supata tidak kembali terjerumus pada kesalahan yang pernah dia perbuat di masa lalu, ia menggunakan senjata untuk memperkuat tekadnya dengan menghamparkan sajadah yang akan dia kenakkan untuk sholat idul fitri sebagai tanda penyucian diri dari dosa-dosa masa lalu.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyelami Problematika Tokoh “Aku” dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Bekal Refleksi di dalam Kehidupan