KRITIK PUISI "DURSASANA PELIHARAAN NEGARA" KARYA M. SHOIM ANWAR
Uraian makna puisi “Dursasana Peliharaan Negara”
Dari puisi M. Shoim Anwar yang berjudul “Dursasana Peliharaan Istana” puisi tersebut menceritakan tentang peran dursasana di dalam suatu negara sebagai tokoh antagonis yang sengaja dimasukkan secara sembunyi-sembunyi oleh pejabat negara itu sendiri untuk membuat gegaduhan, kerusuhan dan kericuhan sehingga saat para rakyat mengaspirasikan pendapat untuk para petinggi negara Dursasana dimasukkan secara sembunyi-sembunyi untuk mengadu domba dengan cara membuat suasana menjadi kisruh. Saat masyarakat melakukan kekisruhan karena ulah Dursasana, inilah kesempatan para petinggi negara untuk membungkam dan memenjarakan masyarakat yang dianggap dalang dari aspirasi tersebut.
Dursasana diberikan kekuasaan sehingga dia merasa seperti orang yang paling penting di suatu sistem pemetintahan tersebut, dia terus berusaha mengadu domba dengan ocehan-ocehan yang keluar dari mulutnya untuk mendapatkan tempat penting dalam pemetintahan tersebut dengan kecurangan. Para petinggi negara menggunakan jasa Dursasana untuk menghina dan merendahkan para masyarakat yang dibayar dengan menggunakan uang negara yang merupakan uang pajak dari masyarakat. Apa gunanya petinggi negara jika dia tidak bisa menjaga martabat bangsa dan mengayomi masyarakat, yang mereka pikirkan hanya kekuasaan, menyewa Dursasana untuk membungkam aspirasi masyarakat, menenggelamkan demokrasi lalu para petinggi negara bersembunyi dibelakang Dursasana berlagak seperti tidak mengetahui apa-apa padahal dalang dari semua ini adalah mereka. Para putra-putra bangsa berusaha keras akan menghentikan semua ini agar ibu pertiwi atau negara ini kembali seperti semula.
Kelebihan dan Kekurangan Puisi “Dursasana Peliharaan Negara”
Kelebihan puisi tersebut terletak pada pemilihan makna kiasan setiap kalimat yang sangat indah dalam mengimplementasikan sebuah kejadian. Sehingga membuat pembaca lebih tertarik untuk mengetahui makna dari puisi tersebut. Sedangkan kekurangan dari puisi tersebut teletak pada objek yang digunakan yakni cerita pewayangan atau Mahabarata karena bagi pembaca milenial atau orang awam yang tidak memahami kisah pewayangan atau Mahabarata pasti merasa kesulitan untuk memaknai puisi tersebut sehingga jangkauannya tidak menyeluruh dari semua kalangan, mungkin objek yang digunakan dalam puisi tersebut seharusnya lebih disederhanakan supaya dapat menjangkau semua kalangan.
Hubungan Puisi “Dursasana Peliharaan Negara”dalam Cerita Mahabarata
Dari uraian makna puisi “Dursasana Peliharaan Negara” di atas dapat dihubungkan dengan keberadaan kisah Mahabarata, makna dari puisi tersebut memiliki kemiripan dengan kisah Mahabarata yang menceritakan tentang sosok Dursasana sebagai sumber kericuhan antar dua saudara yakni Kurawa dan Pandawa dalam merebutkan kedudukan atau kekuasaan atas Astinapura. Jika dihubungkan dengan cerita Mahabarata, persamaannya tertelak pada tokoh Dursasana sebagai biang onar dan kerusuhan terhadap negara, terjadi karena perebutan tahta atau kekuasaan dan pada bait terakhir puisi tersebut juga menceritakan tentang Dursasaa yang pernah menistakan kehormatan wanita dengan membuka kain penutup tubuhnya pada puisi bait tersebut sama dengan cerita Mahabarata di mana Dursasana pernah melecehkan dan membuka kain penutup tubuh Drupadi.
Aktualisasi Puisi “Dursasana Peliharaan Negara”dalam Kehidupan Masa Kini
Dari uraian makna puisi tersebut jika kita hubungkan dengan aktualisasi kehidupan masa kini masih terdapat kesinambungan pada dunia politik, seperti pada saat terjadinya demo omnibus law di mana masyarakar menolak keputusan para petinggi negara dengan cara menyuarakan aprirasinya melalui demo, tetapi para petinggi negara sengaja mengirimkan buzzer politik untuk memperkeruh suasana dan memicu kemarahan masyarakat sehingga banyak dari masyarakat yang dipenjarakan saat mereka ingin menyuarakan pendapatnya. Kemudian aktualisasi berikutnya yakni dalam dunia politik masa kini banyak sekali terjadinya pejabat yang korupsi uang masyakat yang mereka nikmati sendiri tanpa memikirkan masyarakat bawah yang membutuhkan bantuan mereka, seperti pada bait ketiga puisi tersebut “Para penjilat berpesta pora menyesapi cucuran keringat para kawula”. Sumpah yang dilontarkan para pejabat untuk memakmurkan masyarakat hanya menjadi omong kosong seperti pada bait pertama puisi tersebut “akal-akalan purba yang telanjang menggurita saat panji-panji negara menjadi selogan semata”.
Komentar
Posting Komentar